Rabu, 28 April 2010

EKONOMI ISLAM

1. BANK-BANK ISLAM
Dalam mengatur masalah perekonomian sangat besar fungsinya Bank. Dalam Islam fungsi Bank dapat diatur oleh Baitul Maal atau Bank yang ada sekarang disesuaikan dengan ajaran Islam. Bank Islam berdasarkan al Mudarabah (Qiradh atau deviden), seperti yang dilaksanakan oleh Islamic Development Bank (IDB) – Bank Pembangunan Islam, bukan berdasarkan rente/Riba.
1.1. Fungsi Bank
Bank berasal dari kata Itali. Di pelabuhan-pelabuhan Itali sibuk perdagangan. Awak-awak kapal, pedagang-pedagang menukarkan uang pada seseorang, yang pekerjaannya menukarkan uang dari uang negara lain kepada uang Itali dan sebaliknya (Money Changer).
Bank dalam arti exchange of currency merupakan suatu fungsi dari baitul maal Islam yang dilakukan oleh bahagian Dewal Al Amwal. Sistem ini dijalankan oleh Muawwiyah I (604) dan juga dimasa Daullah Abbasiyah (A. A. Duri, Studies on the Economie Life of Mesopotamia in ten Century, Bagdad 1367/1948 M) dengan mengeluarkan paper money atau credit card dan cheques. Begitu pula mengeluarkan paper money atau credit card yang sama sifat dengan wesel 5.
Menurut Syeikh Abdur Rahman Isa dalam bukunya Al Muammalat Al Haditsh Waakamuha halaman 25. 6. yang menjelaskan mengenai berdirinya bank-bank Islam.
Timbulnya alam pikiran yang demikian, telah memecah belah pendapat ulama dan ahli pikir Islam tentang apa yang menjadi tugas pertama dan utama dari bank, uang pada dasarnya tersimpul pada pinjam meminjam uang dengan bunga/rente/riba. Dan ini adalah haram yang sangar besar dalam Islam.
Setengah para ulama di India membolehkan berdsirinya bank Islam itu dengan mengambil alasan dari pendapat sebagian ahli Fiqih yang mengatakan, bahwa Muammalat yang keji dapat dilakukan di negeri yang bukan Islam. Sekalipun terdapat juga dalam perjalanan Bank ini, tetepi mereka membolehkannya disertai dengan mendirikan bank di India dengan alasan India bukan negeri Islam (sebelum petition India kepada Pakistan dan Barat).
Setengah para ulama di kerajaan Otoman, pusat Khalifah Islam, berpendapat bahwa mendirikan bank Islam boleh dengan cara tipu daya yaitu mempergunakan istilah “perjualanbelian Syar’ i”.
Setengah para ulama di Mesir, berpendapat bahwa mereka berdasarkan dalil dan bukti, bukan semata-mata bukan menggunakan pendapat yang lemah atau jalan salah yaitu tipu daya muslihat, membolehkan mendirikan bank Islam atas dasar darurat yang mendesak kearah harus ada bank tersebut. Pendapat ini dikembalikan kepada pembahasan kepada arti riba yang mencakup dua segi:
1) Segi Teori Akal (logika) yang berpangkal kepercayaan bahwa segala hukum yang dibawa oleh agama Islam adalah baik belaka dan untuk kebaikan manusia semata-mata. Diantara hukum-hukum itu adalah haramnya riba disebabkan oleh karena seluruh masyarakat manusia dari semua golongan bangsa-bangsa menghindarkan riba, dan mereka memberikan kepada orang-orang yang terdesak dan butuh pertolongan, hutang yang baik dengan cara yang baik.
Mereka itu memadai dengan hasil pencarian mereka yang dilakukan dengan jalan yang tabi’i seperti pertanian, perdagangan, perindustrian dan yang lainnya. Dengan demikian niscaya akan bertambah tinggi kebudayaan mereka yang didirikan atas dasar kebajikan, kasih sayang dan tolong-menolong. Maka Islam mengharamkan Riba itu dengan tujuan bahwa riba bertentangan dengan dua keutamaan yaitu kebajikan dan kebudayaan.
2) Segi Praktik/pelaksanaan yaitu menurut keadaan kaum Muslim dewasa ini. Kita – dewasa ini hidup dalam satu masa diwaktu tidak terdapat satu negara Islam yang kuat atau telah mencapai satu kekuatan, hingga sanggup menghadapi siapa yang menantangnya. Sebetuulnya teraju dunia dewasa ini, terletak di tangan bangsa-bangsa materialis yang memegang peranan kekayaan alamiah dan mempunyai jalan usaha pencaharian yang diantaranya terdapat Riba itu sendiri. Maka bangsa-bangsa yang lemah dan kecil seharusnya seharusnya bersandar pada negara-negara yang besar itu. Barang siapa yang mengikuti jejak-jejak bangsa yang kuat itu dalam jalan pencahariannya (dan semua telah mengikutinya) terjagalah wujud dan hidupnya bahu membahu dengan bangsa-bangsa yang besar itu. Dan barang siapa yang tidak mengikutinya dan membangkang dalam hal ini, niscaya hidupnya akan hancur dan akan diperhambakan. Apakah Islam membolehkan umat Islam yang demikian keadaannya disamping bangsa-bangsa yang materialis yang kuat, untuk ikut serta dalam usaha pencahariannya? Maka apakah mereka boleh mendirikan bank untuk menjaga kekayaan mereka serta mengembangkannya hingga mereka sanggup merdeka sendiri, bebas dari bangsa-bangsa lainnya? Atau apakah diharamkan bagi mereka menjalankan usaha yang demikian itu? Dan apakah mereka menerima dengan rela kekayaan mereka diisap habis oleh bangsa lain?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dijawab sebagai berikut:
1) Dapat ditegaskan bahwa Islam adalah agama yang kekal abadi diturunkan untuk kepentingan manusia di setiap masa. Maka Islam tidak mungkin menjadi penghalang sebagai aral melintang dihadapan perbaikan apapun jua yang mempunyai dasar ilmu pengetahuan dan pikiran yang sehat. Antara lain, adalah kaidah-kaidah ekonomi yang dikendalikan oleh pikiran-pikiran yang waras dan diciptakan oleh pendapat ulama yang cerdas lagi pandai.
2) Ditegaskan pula oleh ahli agama yang mengikuti dalil (Quran dan Hadits) dan menyadari maksud-maksud dan tujuan utama dari Islam yaitu, bahwa Islam itu berpucuk pangkal pada kaidah ”keentengan/kelapangan” dan menghindarkan kesulitan serta keberatan. Kaidah ini ditegaskan dengan nash ayat-ayat Quran yang tersimpul dalam firman Allah SWT:
(Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidaklah Allah menghendaki kesukaran bagi kamu) S. Al-Baqarah, ayat 185.
(Allah tidak menghendaki kesempitan bagimu):
(Allah tidak menjadikan atas kamu sesuatu kesulitan didalam Dien )S. Al-Haj, ayat 78.
Barang yang haram itu terbagi menjadi dua bagian: 1. jelas haramnya karena “zat”nya, diantara riba yang berjangka waktu yang dinamakan (riba annasiyah). Dan jenis riba ini dibolehkan dalam keadaan darurat. 2. tersembunyi haramnya dan haramnya itu karena lain dari pada zatnya, diantara riba yang berlebihan yang dinamakan (riba fadl), jenis ini dibolehkan dalam keadaan darurat atau disebabkan karena kebutuhan. Soal ini dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya “I’lam Al-Muwaqqien”, jilid II halaman 265.
Berdasarkan pendapat ini, maka dibolehkan mendirikan “Bank Islam” itu dalam keadaan darurat. Darurat mengenai riba ini ditinjau dari sudut keadaan-perseorangan dan keadaan bangsa yang membutuhkannya.
Adapun mengenai perseorangan, tidaklah ada ucapan apapun jua dari pihak kita untuk menentukan-darurat mengenai diri sikap manusia, sebab masing-masing pribadi mengetahui keadaan dirinya sendiri; apakah ia terpaksa melakukan riba itu atau tidak.
Adapun mengenai keadaan bangsa, maka dapat ditentukan keadaan darurat itu dengan perantaraan pemimpin-pemimpin, wali-amr dan manusia lainnya dari ahli pikir, para ulama, dan sebagainya. Dan keadaan darurat itu adalah menurut pertimbangan dan ketentuan mereka yang dapat memutuskan darurat atau tidaknya dan butuh atau tidaknya bangsa itu menghadapi soal riba ini.
Ini adalah kesimpulan pendapat yang dicapai oleh para penyelidik dan pembahas dari ahli-ahli agama di Mesir.
Kebutuhan mendirikan bank Islam bagi umat dan bangsa Islam adalah satu keharusan yang jelas. Tidaklah ada satu umat manapun yang telah maju sanggup menjaga kekayaan dan perekonomiannya tanpa mempunyai satu bank atau lebih. Apabila umat bangsa itu tidak mendirikan bank, berarti membiarkan soal hidupnya kepada bangsa asing yang akan menghisap kekayaannya. Ini berarti melepaskan kekayaan itu kepada bahaya yang berarti pula bahwa perekonomiannya adalah dibawah rahmat-kasihan bangsa asing yang berkuasa di atasnya dan yang dapat menghalanginya bila dikehendaki. Dengan demikian, bangsa asing itulah yang berhak mempergunakan kekayaan dan perekonomian itu semata-mata untuk kepentingan mereka dan untuk mengisi kantong mereka. Mungkin keadaan yang demikian ini bahkan sewajarnyalah persoalan ini dipengaruhi oleh sebab-sebab politik yang bertujuan untuk menundukkan umat dan bangsa itu dengan jalan mengadakan krisis keuangan.
Mesir telah banyak merasakan kepahitan tekanan ekonomi dan mengecap kejam dan ganasnya hingga dikenal, bahwa yang paling kejam di alam penjajahan adalah tekanan ekonomi.
Oleh sebab itu ahli-ahli moneter dan ekonomi serta ahli politik di Mesir berpendapat bahwa tidak mungkin bagi sesuatu umat yang hendak menjaga kedudukan ekonomi dan politiknya melainkan dengan mendirikan satubank atau lebih.
Oleh sebab itu pulalah, maka ahli pikir dari ulama-ulama Islam berpendapat bahwa mendirikan bank itu diperbolehkan menurut syari’at karena darurat ekonomi dan politik yang mendesak kearah itu dan “DARURAT” membolehkan apa yang dilarang.
2. SISTEM PEMBIAYAAN BANK MUAMALAT
Bank Muamalat di Indonesia adalah bank komersil yang dalam operasinya berdasarkan konsep syariah. Sebagai bank komersil, bank Muamalat tidak lepas dari usaha-usaha mencari keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah atau penabung. Sebagai bank yang berlandaskan syariah, maka uang yang ditabung di bank Muamalat pada hakikatnya adalah uang umat yang diamankan kepada bank muamalat, karenanya uang tersebut haruslah benar-benar dijaga dari kemungkinan cidera janji peminjamnya atau istilah populernya kredit macet.
Dalam memberikan pembiayaan, bank muamalat sementara ini cenderung menggunakan prinsip jual beli yaitu: Murabahah (pembiayaan modal kerja perdagangan) dan Bai Bithaman Ajil (pembiayaan angsuran barang modal).
Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yaitu mudharabah (pembiayaan penuh usaha dengan dasr bagi hasil) dan musyarakah (pembiayaan parsial usaha dengan dasar bagi hasil). Pembiayaan al-Qardul Hasan (pinjaman kebajikan) yang merupakan produk khas bank syariat, dimana Bank Muamalat tidak mengambil keuntungan dari pinjaman ini, juga belum dapat dilakukan mengingat belum terkumpulnya dana-dana infak, sadaqah (IS) di Bank Muamalat. Pembiayaan al-Qardul Hasan sumber dananya berasal dari pihak ketiga yang ditabung di Bank Muamalat baik berupa giro, tabungan ataupun deposito. Ini disebabkan nasabah penabung tersebut mengharapkan bagi hasil dari keuntungan yang dicapai Bank Muamalat.
3. RUHNU (BORG) JAMINAN SUATU BENDA
Borg (ruhnu) atau jaminan suatu benda penguatkan kepercayaan dalam hutang piutang. Benda itu boleh dijual oleh orang yang memberi hutang dengan pasaran apabila orang yang berhutang tidak membayar hutangnya setelah lewat masa yang diperjanjikan.
Manfaat benda jaminan (borg) adalah pemilik masih tetap berhak mengambil manfaatnya dari barang yang dijaminkan, bahkan manfaatnya tetap kepunyaan pemilik dan kerusakan menjadi tanggungan pemilik. Tetapi usaha pemilik untuk menghilangkan miliknya dari barang itu (jaminan), mengurangi harga, menjual atau mempersewakannya tidak sah tanpa izin yang menerima jaminan (borg).
Pemegang borg atau orang yang memberi hutang boleh mengambil manfaat sekedar pengganti kerugian untuk menjaga benda borg tidak rusak atau hilang. Apabila pemegang borg mengambil manfaat terus-menerus untuk keuntungannya, tidak sah, ini riba, hukumnya haram.
Di Indonesia berlaku sebagai kebiasaan bahwa jaminan (borg) misalnya sawah, pohon kelapa semua penghasilannya diambil oleh pemegang jaminan hak ini tidak sah dan tidak halal karena gunanya penambah kepercayaan kepada orang yang memberi hutang bukan untuk mencari keuntungan bagi yang memberi hutang.
4. ASURANSI
Perjanjian asuransi adalah suatu perjanjian peruntungan. Asuransi ialah satu perjanjian seseorang yang mempertanggungkan sesuatu dengan seseorang penanggung atau “asurator”, menurut perjanjian ini si penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus ataupun berkala dari orang yang mempertanggungkan itu dan ia berjanji akan mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak kemudian hari yang sebelumnya tidak dapat ditentukan oleh siapapun (pasal 246 KUHD); misalnya – kematian, kebakaran, kehilangan, kerusakan, dll.
Tetapi karena perjanjian asuransi adalah perjanjian keuntungan alat peruntungan, maka akan terjadilah dan banyak terjadi dalam masyarakat misalnya – pabrik atau rumah dll dibakar oleh yang mengasuransikan pabrik atau rumah tersebut atau membunuh diri. Tetapi apabila pengadilan dapat membuktikan bahwa yang mengasuransikan membakar atau terbukti membunuh diri, maka perusahaan asuransi tidak mau membayar yang dipertanggungkan (uang asuransi). Untuk melaksanakan asuransi perlu ada surat perjanjian yang dinamakan polis. Setiap pertanggungan yang diadakan, dibuat suatu perjanjian diatas kertas. Polis ini pada umumnya dicetak dan mempunyai teks-teks yang tertentu. Polis ini memuat perjanjian-perjanjian dan pertanggungan.
Macam-macam asuransi diantaranya:
a. asuransi jiwa
b. asuransi barang/harta
c. asuransi bea siswa
d. asuransi kecelakaan tubuh
e. asuransi pemerintah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar