Rabu, 28 April 2010

SUKU BAHAU, KALIMANTAN TIMUR

BAHAU


Bahau merupakan salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Kutai Pripinsi Kalimantan Timur. Orang Bahau konon merupakan pecahan dari orang Dayak Tunjung, yang lama kelamaan seolah-olah merupakan kelompok yang berbeda, karena mengembangkan budaya sendiri. Kelompok masyarakat ini berdiam di kecamatan Long Iram, bagian dari wilayah Kabupten Kutai, Propinsi Kalimantan Timur. Jumlah orang Bahau diwilayah ini tidak dapat diketahui dengan pasti

Ciri-ciri Fisik dan Budaya
Ciri-ciri fisik orang Bahau menunjukan bahwa mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid. Dalam proses sejarah kehidupan kemasyarakatannya, mereka memiliki pengetahuan dan kepercayaan yang mempengaruhi cirri-ciri fisiknya seperti pada berbagai kelompok orang Dayak lainnya, orang Bahau juga pernah mengenal telinga panjang terutama pada kaum wanitanya. Telinga wanita dilubangi kemudian digantungi anting-anting sehingga daun telinga tertarik dan akhirnya menjadi panjang dan turun kebawah. Pada masa lalu telinga panjang merupakan suatu simbol status atau derajat seorang wanita. Generasi sekarang sudah tidak mau lagi punya telinga semacam itu bahkan generasi yang sudah terlanjur telinganya mulai panjang merasa malu, dan tidak jarang diantara mereka memotong kelebihan telinga iu ke dokter yang berada di kota Tenggarong ataupun Samarinda. Sedangkan pada kaum Prianya pada masa lalu membuat dua lubang pada daun telinga, lubang atas sebagai tempat menyelipkan paruh burung engang, sedangkan lubang bawah tempat untuk mencucukkan taring harimau. Semua ini merupakan lambang keperkasaan atau kejantanan kaum pria. Mereka juga mengenal tato (tutang cacah) baik pada pria maupun wanita. Pada masa lalu setiap gadis yang akan kawin harus dirajah terlebih dahulu , hal ini dimaksudkan sebagai latihan untuk menahan raasa sakit yang akan dialami ketika melahirkan kelak. Motif-motif hiasan rajah pada kulit kaki atau pada bagian tubuh lainnya itu juga memberi makna tentang status sosial atau kebangsawanan seseorang.
Pola Permukiman
Pemukiman orang Bahau pada umumnya berada di sekitar tepi sungai atau pada pertemuan anak sungai dengan sungai besar, seperti sungai Mahakam. Rumah- rumah mengelompok berjejer sepanjang badan sungai. Dahulu keluarga-keluarga mereka hidup dalam bilik-bilik (amin) dari rumah tradisional (umaa) yang panjangnya ratusan meter dengan puluhan bilik, antara bilik yang satu dan yang lainnya di batasi dengan dinding papan atau kulit kayu. Bilik-bilik ini tidak memiliki jendela, sehingga hampir tidak ada cahaya yang masuk. Di bagian depan terdapat beranda yang menghubungkan bilik-bilik tersebut. Kini rumah-rumah panjang semacam itu sebagian besar sudah punah. Mereka masih membuat bangunan tradisional itu dengan ukuran yang lebih pendek dan tidak lagi sebagai tempat tinggal, melainkan sebagai gedung pertemuan tempat melaksanakan upacara adat atau pertunjukan seni.
Kini rumah keluarga itu umumnya berupa rumah tinggal yang berjejer sepanjang tepi sungai, rumah itu umumnya berbentuk pangung dari kayu dengan dinding papan dan atap sirap atau seng. Rumah-rumah tinggal ini sudah memiliki jendela dan pintu yang lebar. Bentuk rumahnya tidak lagi mengikuti bentuk rumah adat lama, tetapi disesuaikan dengan selera pemiliknya yang mungkin meniru bentuk rumah-rumah lain yang pernah diliatnya.
Di tepi sungai mereka membuat pemandian, tempat mencuci, dan jambangan umum. Tempat pemandian umum (amban) ini dibuat terapung seperti rakit diatas dua atau tiga potong pohon besar yang direndengkan. Diatasnya dibuatkan jamban yang dikelilingi dinding papan dengan pintu sedang dibagian atas ada yang terbuka dan juga ada yang beratap. Tempat pemandian ini terapung mengikuti permukaan air yang naik dimusim hujan dan turun ketika air surut

Bahasa
Orang Bahau memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Bahau. Bahasa Bahau sendiri memiliki dua dialek, yaitu Bahau Sa’ dan Bahau Busang. Masyarakat pemakai dialek yang satu masih bisa memahami dialek yang lainnya dan sebaliknya. Orang Bahau menggunakan Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan anggota suku bangsa lain dan dalam kesempatan resmi, misalnya di sekolah. Orang Bahau masih mempunyai kaitan keturunan dengan masyarakat tetangganya, seperti orang Kutai, Siang, Tanjung, dan Benuaq. Hal ini dapat diketahui dari mitos yang berkembang di kalangan masyarakat sekitar.

Agama dan Sistem Kepercayaan Asli
Orang Bahau sekarang sudah cukup maju. Bagian terbesar (90%) orang Bahau adalah pemeluk agama Katolik. Peranan misi Katolik dalam mendorong kemajuan orang Bahau dalam bidang pendidikan cukup berarti.
Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak dikalangan mereka yang mempraktekan unsure-unsur kepercayaan lama. Orang Bahau pada masa lalu mempercayai banyak dewa, seperti Dewa Air, (Silau Magas), Dewa Padi (Hinaai Atu’), Dewa Gunung (Sengiaang Tukuung), Dewa Penjaga Kampung (Elehiit). Mereka banyak melakukan upacara dan mempercayai kekuatan gaib, antara lain dengan melakukan sejumlah pantangan

Upacara Kematian
Sehubungan dengan sistem kepercayaan lama, dalam rangka kematian seseorang, mereka melaksanakan serangkaian upacara. Upacara itu berkaitan dengan keyakinan bahwa orang yang sudah meninggal pindah ke alam lain, yaitu alam arwahdalam rangka kepindahan itulah mereka melaksanakan beberapa tahap kegiatan. Antara lain:
1. Acara pertama adalah memandikan mayat (medu pate) yang dilakukan oleh Dayung. Setelah dimandikan si mayat ini boleh berada di dalam rumah itu selama satu sampai dua minggu. Sementera itu di rundingkan dan disiapkan barang-barang apa yang akn dibawa oleh si mayat.bagi kaum pri bangsawan mungkin akan disertakan baranf-barang seperti Mandau, guci, sumpitan, tombak, perisai, parang, beliung, babi, ayam, dan lain-lain, apabila yang meninggal itu wanita barang yang dibawa disesuaikan dengan kebutuhan wanita
2. Acara yang kedua adalah acara makan berwaq atau bersantap. Pada wantu-waktu tertentu sang mayat dibangunkan untuk bersantap bersama sama dengan keluarga si mayat. Roh dari si mayat itu dipercaya masih ada bersama keluarga. Acara makan ini juga harus dilakukan oleh si Dayung, yang dilakukan empat kali dalam sehari semalam. Selama itu juga diselenggarakan acara tangis-tangisan yang dimulai oleh si Dayungyang di ikuti oleh si kerabat-kerabat dengan penuh rasa duka
3. Acara ketiga adalah acara pemakaman dengan membawa barang-barang tersebut di atas tadi bersama mayat itu dikuburkan pula seekor ayam untuk menemaninyadalam lubang kubur. Dalam rangka pemakaman ini si Dayung memberikan pesan-pesannya kepada si mayat.
4. Acara keempat adalah acara mengusir hantu (muqaag toq) yang dilakukan pada malam harisesudah acara pemakaman
5. Acara kelima adalah haduitaknaq yaitu acara pemindahan roh si mayat ke negeri arwah, acara inipun dipimpin oleh si Dayung dan berlangsung berhari-hari. Pada malam terakhir untuk terakhir kalinya si Dayung mengundang si mayat untuk menikmati hidangan dalam keadaan gelap gulita, semua ornag yang hadir harus diam agar si mayat mau datang dan menyantap hidangan yang telah disediakan. Dalam keadaan gelap sunyi tersebut Dayung berbicara mewakili si mayat dalam menyampaikan sebab-sebab kematiannya. Dan kemudian berakhirlah upacara mengantar roh itu.

Seni
Sejak dahulu orang Bahau banyak menyimpan benda-benda kuno seperti piring keramik, alat-alat makan keramik, tempayan keramik, dan lain-lainnya. benda-benda keramik itu diduga berasal dari Negara Cina. Mereka juga memiliki kekayaan dalam ekspresi keindahan, misalnya dalam seni tari dan seni musik. Orang Bahau memiliki lagu waktu memotong padi (lagu netna), lagu pujian untuk bulan purnama (lagu Ngen Jiu Hen Le), yang dibawakan oleh gadis-gadis dan perjaka secara bergantian sebagai hiburan. Lagu Jong Nyelong mengiringi tari sebagai ungkapan rasa syukur terhadap keberhasilan panen ladang.
Mereka juga memiliki tari-tarian tradisional, diantaranya adalah yang terkenal tari Hudoq, yaitu tari massal yang dilakonkan oleh pria dan wanita pada waktu manunggal dan merumput padi di ladang. Para penari menggunakan pakaian yang terbuat dari daun pisang yang telah diiris-iris dan disusun sedemikian rupa mulai dari leher sampai ke kaki dan ujung tangan. Pakaian ini menggambarkan sisik-sisik buaya, kepala penarinya menggunakan topeng yang penuh dengan tata warna. Para penarinya membawa tongkat kayu panjang sedepa. Tarian ini diiringi bunyi-bunyian, antara lain berupa gong (egong), gendang (taweng), yang panjangnya sekitar dua meter, jempai yaitu alat sejenis gitar bersenar dua, suling (kendek). Tarian ini menimbulkan suasana sakral.

Mata Pencaharian
Dalam mata pencaharian mereka telah lama mengenal pertanian ladang berpindah (huma), berburu, mencari hasil hutan, dan menangkap ikan. Pertanian lading berpindah itu dilakukan dengan system tebang bakar dan dalam pekerjaan itu mereka saling gotong royong, pele’rau yaitu kelompok gotong royong yang mengerjakan ladang secara bergantian/bergiliran. Dalam rangka pekerjaan di ladang itu mereka pernah mengenal macam-macam kepercayaan, yang mungkin masih ada yang mengamalkannya sampai masa terakhir ini. Mereka juga percaya bahwa padi mempunyai jiwa atau roh (beluan parai). Padi yang akan dijadikan benih itu harus diperlakukan istimewa dengan mengadakan upacara yang disebut nebiing. Upacara ini bertuuan untuk menguatkan roh padi itu, memberi sajian kepada roh baik agar menjaga padi itu. Setelah penanaman padi dilakukan pula upacara lalii ugaal, yaitu memohon kepada dewa padi agar diberikan hasil yang melimpah. Permulaan masa panen disambut dengan upacara yang disebut ngebal sebagai pertanda panen dapat dimulai.
Binatang buruan adalah babi hutan, rusa, rusa, ular, kura-kura, kera, beruang, dan macan. Mereka berburu dengan bantuan anjing, alat yang mereka gunakan adalah tombak, parang, mandau, dan sumpitan. Dalam berburu mereka mengenal berbagai tantangan, misalnya tidak boleh bersiul, tidak bicara yang kurang senonoh, tidak membuang sisa makanan di sembarang tempat, tidak meneruskan perjalanan jika kalau ada burung yang terbang melintas.
Mata pencaharian yang cukup penting adalah meramu hasil hutan, seperti rotan, dammar, kayu, buah-buahan (durian, cempedak, langsat rambutan, dan lain-lani). Dalam kegiatan meramu hasil hutan itu dikenal juga beberapa macam pantangan, misalnya tidak membakar terasi, bawang dan lombok. Bau terasi itu di yakini akan mengundang kehadiran binatang buas. Selain itu juga tidak diperbolehkan berbicara tentang wanita, karena itu akan mengundang kehadiran kuntilanak yang akan menghisap darah manusia yang ada di hutan itu.

Perbedaan suku Bahau dan suku Jawa antara lain;

Suku Bahau Suku Jawa
Mempunyai dua dialek bahasa; Bahau Sa’ dan Bahau Busang Mempunyai dua dialek bahasa; Jawa halus dan Jawa kasar
Mata pencaharian tergantung sama alam Mata pencaharian tidak tergantung sama alam
Telinga panjang sebagai status sosial Bentuk rumah sebagai status sosial
Sebagian besar pemeluk agama Katolik Sebagian besar pemeluk agama Islam








Potensi Wisata di Bahau
Daerah Bahau merupakan pecahan dari orang Dayak Tunjung yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Kutai, Propinsi Kalimantan Timur yang merupakan daerah yang sangat kaya akan alam dan budayanya yang sangat di pelihara dari nenek moyang sampai sekarang. Potensi wisata yang dapat dikembangkan di daerah Bahau adalah Wisata Budaya dimana para wisatawan dapat secara langsung melihat maupun melaksanakan kegiatan yang ada di daerah Bahau ini, misalnya dengan ikut untuk melakukan berburu di hutan maupun melihat ritual-ritual lain yang diadakan oleh orang Bahau tersebut. Akan tetapi ritual-ritual tersebut tidak akan diadakan tiap waktu melainkan pada waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu akan melakukan panen, sesudah panen dan upacara kematian dan lain-lain. Para wisatawan harus mentaati semua peraturan yang sudah di tetapkan oleh masyarakai Bahau. Dan bagi para wisatawan yang ingin mengikuti wisata budaya yang ada di Bahau ini tidak disediakan tempat penginapan melainkan para wisatawan berbaur dengan masyarakat sekitar.

1 komentar: